Bisa dibilang,
budidaya lele (pembesaran, red), relative mudah dilakukan masyarakat.
Pembudidaya bisa memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk memelihara lele.
Kolamnya pun bisa dari terpal, ataupun kolam semen. Hal itu bisa dilhat dari puluhan
kolam ikan lele terpal menghampar luas di lahan budidaya milik Shaleh di Bogor.
Sudah 20 tahun terakhir ini dirinya menggantungkan harapan dari budidaya lele.
Berkat lele,
Shaleh sudah mampu menghantarkan anaknya meraih gelar Doktor dan Sarjana.
“Dibandingkan dengan ikan tawar lain yang sering tak menentu, ikan lele ini
stabil bahkan semakin meningkat 5 tahun terakhir ini,” kata Shaleh.
Menurut Shaleh,
pada awalnya ia hanya menjual lele di
tingkat pembesaran saja. Tapi,
dikarenakan indukan dan benih agak sulit dicari yang berkualitas. Ahirnya ia
menekuni usaha pembenihan lele.
Kesulitan
memperoleh indukan dan benih yang berkualitas juga dirasakan oleh Amruddin,
pembudidaya lele dari Sleman. Dirinya mengaku membeli benih dan indukan dari
unit pembenihan rakyat (UPR) setempat. Hanya saja, benih yang dibeli dari UPR
ini kualitasnya sekitar 3 tahun terakhir semakin menurun.
“Beli
di UPR saja sekarang sudah gak bagus
kualitasnya. Kalau beli ke pembenih, saya ragu sebab terkadang dikawin silang
dengan satu keturunan (incest)
sehingga pengaruh kepada kualitas dan performanya,”
terang Amruddin.
Semakin
menurunnya benih lele di UPR juga diakui Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Sarifin. Menurutnya, penurunan kualitas dari lele memang
dimungkinkan.
Seperti yang
terjadi saat lele dumbo booming di
pasaran. Pembenih nakal seringkali melakukan inbreeding antara lele dumbo satu keturunan. Sehingga terjadi
penurunan derajat penetasan, pertumbuhan lambat, daya tahan penyakit menurun.
Begitupula yang kini terjadi pada Lele Sangkuriang. Penyebaran informasi yang
cepat menjadikan benih Lele Sangkuriang banyak dicari dan kebutuhan akan benih
juga semakin meningkat.
Nah,
guna mengantisipasi penurunan kualitas dan kejayaan lele di masyarakat, BBAT
Sukabumi sebenarnya telah merilis Lele Sangkuriang II sejak tahun 2013 silam sebagai Benih Hibrida berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 28/KEPMEN-KP/2013. Sejak Juni
2014 lalu, pembudidaya sudah bisa memperoleh Lele Sangkuriang II ini.
“Lele ini merupakan hasil hibrida antara indukan betina strain Sangkuriang I dan jantan strain Afrika. Indukan betinanya sendiri
merupakan turunan kedua dari Sangkuriang I sedangkan strain lele Afrika diperoleh dari turunan 1 yang dikembangkan di
Thailand,” tutur Sarifin.
Lele Sangkuriang
II kini telah didistribusikan dalam bentuk benih ke beberapa kota besar dan
menjadi sentra budidaya lele seperti Jawa Barat (Kab. Bogor, Kota Bogor,Kota Depok,Kab.
Karawang, Kab. Tasikmalaya, Kab. Indramayu, Kab. Bekasi, Kab. Bandung, Kota
Bandung, Kota Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Cirebon, Kab. Ciamis), DKI Jakarta (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
Jakarta Utara), Banten (Kota Tangerang Selatan), Jawa Tengah (Kab. Brebes, Kab.
Banyumas) hingga JawaTimur (Kab. Tulungagung).
Ukuranya Lebih Besar
Indukan
strain Afrika diperoleh karena
ukurannya yang besar dan bisa mencapai 7 kilogram. Selain itu, jenis lele generasi awal ini
dipilih, karena diharapkan bisa memperbaiki genetis ikan lele dan menghasilkan
keturunan berukuran besar.
Diharapkan strain
baru ini menjadi kenyataan saat kelompok peneliti dari BBPBAT Sukabumi
melakukan uji coba multilokasi ke beberapa kelompok pembudidaya ikan yang
tersebar di Bogor (Jabar), Boyolali (Jateng), Gunung Kidul (DI Yogyakarta), dan
Kepanjen (Jatim).
“Pembudidaya ikan lele sendiri menunjukan respon positif
akan kehadiran Lele Sangkuriang II ini sebab dalam usaha budidaya pembesaran
sangat baik, sangkuriang II memiliki pertumbuhan yang relatif cepat bila
dibandingkan ikan lele strain lain
yang telah ada sebelumnya,” tutur Sarifin.
Ditambahkan
Sarifin, masa panen untuk ukuran konsumsi Lele Sangkuriang I relatif lebih lama
yakni mencapai 3 bulan, sedangkan Sangkuriang II hanya 2,5 bulan. Sehingga
pembudidaya bisa mendapatkan keuntungan yang lebih cepat.
Meskipun
berukuran besar dan cepat tumbuh ternyata konsumsi pakan dari jenis ini lebih
hemat dibandingkan dengan jenis sebelumnya yakni hanya 0,85 saja atau dengan
kata lain hanya dibutuhkan 0,85 kilogram pakan saja untuk menghasilkan 1 kilogram
daging ikan.
Tingkat
survival rate atau harapan hidup dari
ikan lele jenis baru ini pun lebih besar daripada Sangkuriang I yakni sekitar
90,8%. Bahkan fekunditas (banyaknya
telur) mencapai 97.192 butir telur per kilogram induk. Saat pembesaran, ukuran
lele Sangkuriang II ini lebih seragam dan memiliki ukuran yang identik satu
sama lain. (lihat table 1)
Berbudidaya
ikan lele Sangkuriang II juga lebih hemat dibandingkan dengan strain lain. Penghematan yang bisa
dilakukan oleh pembudidaya sekitar 60%. Apalagi jika ikan dibudidayakan dengan
metode bio enzim, tumbuh kembang ikan menjadi lebih cepat bagus serta lebih
tahap terhadap penyakit.
Keuntungan
berlipat pun bisa dirasakan oleh pembudidaya ikan Sangkuriang II ini.
Berdasarkan analisis usaha yang dibuat oleh BBPBAT Sukabumi, setidaknya selisih
Rp 1,350 juta bisa diperoleh pembudidaya (lihat
table 2).
Nah,
kehadiran Lele Sangkuriang II ini bisa menjadi pilihan bagi pembudidaya.
Apalagi, dengan kelebihan yang disandangnya, diyakini, para pembudidaya Lele Sangkurian II bakal mendapat margin
keuntungan lebih baik disbanding membudidaya lele jenis lainnya.