Search This Blog

Sunday 27 April 2014

Buat Akuaponik Sendiri Yuk!

Ada tiga sistem aquaponik yang selama ini sudah dipraktekkan di masyarakat yakni sistem resirkulasi yang hanya menggunakan ember/bak plastik dan kolam, sistem akuaponik rakit jika tidak ada air yang masuk dan keluar hingga sistem aquaponik sirkulasi

“Sistem resirkulasi inilah yang sebenarnya bisa dipraktekkan di masyarakat yang memiliki lahan sempit dan air yang terbatas. Baik itu di wilayah gersang atau daerah perkotaan sekalipun,” ungkap Eri dari Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya & Toksikologi Cibalagung di bawah satker Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Bogor
 
Seperti apa cara membuat Aquaponik?Yuk kita coba sekarang!.
Alat dan Bahan:
1.       Ember kapasitas 5 atau 10 L.
2.       Pipa PVC berdiameter 0,5 inchi.
3.       Keranjang plastik berlubang bervolume 1 liter
4.       Solder
5.       Bor/pisau
6.       Pompa air dengan kapasitas debit 1.000-3.000 L/jam.
7.       Batu apung, Arang, sabut kelapa dan Bibit tanaman sayuran yang akan ditanaman (tomat, terong, cabai mapun slada)

Cara Membuat:
1.      Lubangi ember (diameter ½ inchi) dengan menggunakan bor atau pisau. Pastikan lubang berjarak 1 cm dari dasar ember.
2.      Potong Pipa PVC ukuran ½ inchi dan masukkan ke lubang di ember. Pipa di bagian dalam ember kemudian ditutup oleh keranjang plastik berlubang volume 1 liter.
3.      Sementara itu, cucilah media tanam (arang, batu apung ataupun sabut kelapa) di air mengalir dan tiriskan selama satu hari ditempat yang terjemur dengan sinar matahari.
4.      Setelah sehari kering, masukan media tanam hingga penuh ke dalam wadah akuaponik ember plastik. Tanam bibit tanaman sayuran (berasal dari penyemaian) yang sudah layak untuk ditanam pada wadah akuaponik (umur 14 hari setelah tanam atau tinggi tanaman telah mencapai 10 cm).
5.      Letakkan ember tersebu di pematang dinding kolam. Masukan pompa air (debit 1.500-3.000 L/jam dan daya lontar 2 m) yang sudah dipasang dengan pipa PVC ½” dalam kolam ikan. Pasang pipa PVC ½” di atas wadah akuaponik sesuai dengan alur dinding bak (bulat atau persegi).
6.      Lubangi pipa PVC berada di atas wadah akuaponik tepat pada pangkal tanaman. Nyalakan pompa dan pastikan aliran air lancar mengalir pada masing-masing wadah akuaponik. Pastikan saluran air tidak ada yang tersumbat, baik dari saluran inlet (yang mengalir ke wadah akuaponik tepat dekat pangkal tanaman) maupun air yang ke luar (outlet) dari wadah akuaponik 


Ikan Abnormal Lebih Rentan Sakit?

Suka dengan ikan seperti rainbow perrot atau ranchu karena keunikan bentuk tubuhnya?Tahukah Anda jika ikan tersebut sebenarnya abnormal?Dan menurut penelitian, ikan ini lebih rentan sakit daripada ikan normal?

         Ikan seperti ranchu dan perrot baloon memang terlihat lucu dan menggemaskan dengan bentuknya yang bantet. Tapi sebenarnya ikan tersebut tergolong ikan yang abnormal karena sebenarnya ikan ini berbentuk panjang dan mampu bergerak indah.
           Lantas bagaimana ia bisa mempunyai bentuk yang bantet?Mungkin di tingkat pembudidaya Indonesia bentuk bantet ini diperoleh dari indukan yang bantet juga, tetapi anakannya tidak semua memiliki bentuk yang sama seperti induknya. “Umumnya di Indonesia, kawin silang yang terjadi hanya untuk memperkuat gennya saja,” tutur Dr. Ir Restu Nugroho, peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar.
       Di luar negeri, proses rekayasa genetik untuk menghasilkan spesies baru sudah lumrah terjadi, begitupula pada ikan. “Hanya untuk kesenangan visual semata terkadang ikan malah dikorbankan untuk membuat spesies baru yang akhirnya menjadi abnormal (mutan) dan tingkat kerentanan penyakit yang cukup tinggi daripada spesies aslinya,” tulis Nathan Hill dalam http://www.practicalfishkeeping.co.uk/
            Dijelaskan Nathan, sebagian besar ikan bantet (ballon) memiliki tulang belakang yang melengkung, tulang inilah yang menyebabkan ikan kesulitan bernafas. Ikan pun terlihat sangat membungkuk dibandingkan spesies aslinya.
            “Masalah percernaan pun sering menjadi penyebab utama kematian mereka lantaran bentuk anatomi yang abnormal. Rentang hidupnya pun lebih rendah dari yang diharapkan,” ungkap Nathan.

            Berdasarkan penelitian, tingkat stress ikan akan anatominya yang abnormal juga menjadi penyebab kematian ikan sering terjadi.  Oleh karena itu bisa dikatakan ikan abnormal sekalipun dipelihara dalam lingkungan optimal, kematian akibat kelainan tulang ini tidak bisa terhindarkan. 

Wednesday 23 April 2014

Uniknya Kearifan Lokal Terkait Hiu Paus

Indonesia memang kaya akan kearifan lokal yang turun temurun dipercaya dan menjadi budaya yang menarik hingga sekarang. Sebagian besar memang terkait dengan proses pelestarian dari biota tertentu, salah satunya hiu paus. Seperti apa uniknya kearifan lokal untuk hiu paus yang ada di Indonesia?

     
Ada yang menarik dari proses konservasi hiu paus di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih.          “Oleh penduduk Kwantisore ikan ini sering disebut ikan hantu lantaran kemunculannya yang tiba-tiba dari perairan dalam dan langsung muncul di samping perahu nelayan,” tutur Benny Ahadian, Project Leader Bidang Kelautan di Teluk Cendrawasih dari WWF Indonesia.
            Bahkan menurut penuturan warga asli Kwatisore, ikan hantu ini dianggap sebagai ikan adat dan siapapun yang menangkapnya akan mendapatkan sanksi secara adat. “Jika melihat dari perbukitan, Kwatisore ini mirip dengan ekor ikan hantu. Makanya kami percaya Kwatisore memang rumah tinggal mereka. Kami dilarang mengkonsumsinya,” ungkap Yance, salah satu warga Kwatisore.
            Tak hanya di Kwatisore, Papua, kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di Cirebon.
            Suku Bajo juga menyebut hiu paus dengan sebutan Kareo Dede dan dianggap sebagai nenek moyang suku Bajo sehingga apabila tidak sengaja menangkap hiu paus harus segera dilepaskan.
Diungkapkan oleh Benny, kearifan lokal ini masih dijaga hingga sekarang. Bahkan jika perahu nelayan menjumpai ikan ini cenderung diam tidak bergerak atau kembali pulang. “Dari sisi konservasi, perilaku tersebut sangat positif sebab sangat menghargai kehadiran ikan ini dan semakin memperkuat sebetulnya tanpa perlu banyak edukasi, masyarakat sudah mampu hidup berdampingan,” tutup Benny.

Mendesak, Pendekatan Konservasi Untuk Wisata

Keunikan hiu paus, ikan raksasa dari perairan tropis ini memang menarik minat siapa saja untuk melihat secara dekat. Namun sayang, pengetahuan yang minim mengenai apa dan bagaimana hiu paus mengakibatkan pengelolaan wisata masih bertujuan ekonomi semata.
            “Di daerah Probolinggo, beberapa hiu paus malah menjadi wisata dan ditunggangi. Mereka mungkin tidak tahu jika yang mereka lakukan itu berbahaya untuk hiu pausnya sendiri. Jadi sudah seharusnya kita kasih tahu kalau hal itu tidak benar,” tutur Hawis Madduppa, Dosen dan Peneliti Biosistematika Kelautan dari Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
            Hawis merasa perlu agar guide wisatawan diberi pembekalan mengenai hiu paus itu sendiri dan bagaimana cara berinteraksi dengan hiu paus, sehingga aspek wisata dan kelangsungan hidup bagi hewan ini sama-sama terpenuhi.
             Untuk meminimalisir dampak interaksi manusia karena wisata terhadap kehidupan hiu paus, salah satunya menyediakan media informasi berupa poster cara berinteraksi dengan hiu paus khususnya di air.
            “Poster ini dibuat berdasarkan regulasi yang sudah ada di dunia internasional seperti saat berinteraksi tidak boleh menyentuh hiu paus, jika ingin memotret tidak boleh menggunakan flash dan peraturan internasional lain yang sudah diadaptasi,” tutur Benny Ahadian.

            Benny juga mengemukakan strategi informasi praktis ini dirasa efektif untuk wisata diving di Teluk Cendrawasih dan mungkin bisa disebarkan di beberapa daerah lain yang akan mengembangkan wisata hiu paus.

Konservasi Hiu Paus Perlu Lintas Negara

Meskipun Indonesia sudah menetapkan Perlindungan Penuh terhadap Hiu Paus (Whale Shark), semangat konservasi ikan terbesar di kawasan tropis ini masih perlu diperluas hingga lintas negara. Pasalnya, sang hiu paus selalu aktif bergerak melintasi perairan dunia.
     Dewasa ini populasi Hiu Paus semakin terancam oleh aktivitas penangkapannya (dengan menggunakan harpun), atau secara tak sengaja terbawa dalam jaring ikan. Nelayan di berbagai tempat seperti India, Pakistan, Maladewa, Taiwan, dan Filipina bahkan menangkap dan memperdagangkan ikan ini untuk dagingnya, minyak liver, serta siripnya yang berharga mahal.
            Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah dari hewan yang memiliki panjang 12-18 meter ini, kemunculan yang semakin jarang menjadi alasan dimasukkannya ia dalam status Rentan Punah (Vulnerable) oleh IUCN, Badan Konservasi Dunia.
            Upaya konservasi dan perlindungan jenis ini juga telah dilakukan beberapa negara, terutama berupa larangan untuk memburu, menangkap, dan memperdagangkan cucut besar ini. Filipina, misalnya, telah menerbitkan larangan menangkap, menjual, mengimpor atau mengekspornya sejak 1998. Larangan ini kemudian diikuti oleh India pada 2001 dan Taiwan pada 2007. Maladewa bahkan telah melindunginya semenjak 1995.
            Setelah melakukan riset sejak tahun 2011 mengenai perilaku hiu paus di Indonesia dan diperkuat oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan perlindungan penuh kepada hiu paus. Dengan berarti segala kegiatan pemanfaatan dari individu hiu paus dilarang untuk dilakukan.
            Hal ini dipuji dengan baik oleh Brent Stewart dari Hubb Seaworld Research Institute sebagai langkah pemerintah yang memihak pada konservasi dan memberikan kesempatan untuk riset hiu paus lebih mendalam.
            “Saya rasa langkah konservasi yang ditempuh sudah sangat bagus, tapi harus diingat bahwa yang dilindungi bukan hanya tempatnya saja namun juga hewan yang ada di dalamnya. Dan karena hewan itu makhluk hidup yang bergerak, maka bentuk konservasinya pun lebih meluas,” ungkap Brent.
            Ditambahkan oleh Brent, upaya melindungi hiu paus akan lebih sulit daripada hewan lain sebab hiu paus tergolong hewan yang selalu bergerak (mobile) dan perenang yang cepat.
            Berdasarkan penelitian yang dilakukan Brent bersama WWF di Teluk Cendrawasih diperoleh hasil hiu paus tidak hanya bergerak di wilayah taman nasional saja tapi bergerak lintas negara hingga ke Filipina sebelum kembali ke Teluk Cendrawasih. Tak hanya di wilayah tropis menurut Brent, hiu paus juga kerap ditemui di pesisir barat Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
            “Disinilah tantangan yang harus diperhatikan pemerintah untuk bisa melakukan konservasi lintas negara dan bersama-sama dunia melindungi hiu paus ini sambil berusaha mengungkap rahasia hiu paus yang belum terungkap,” tuturnya.
            Dengan adanya semangat konservasiyang semakin mendunia, bisa dipastikan para penjagal dan konsumen yang sebagian besar berasal dari Taiwan dan China akan berpikir beribu kali untuk menjadikan hiu paus santapan di meja mereka.