Indonesia memang kaya akan kearifan lokal yang turun temurun dipercaya dan menjadi budaya yang menarik hingga sekarang. Sebagian besar memang terkait dengan proses pelestarian dari biota tertentu, salah satunya hiu paus. Seperti apa uniknya kearifan lokal untuk hiu paus yang ada di Indonesia?
Ada yang menarik dari proses konservasi hiu paus di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih. “Oleh penduduk Kwantisore ikan ini sering disebut ikan hantu lantaran kemunculannya yang tiba-tiba dari perairan dalam dan langsung muncul di samping perahu nelayan,” tutur Benny Ahadian, Project Leader Bidang Kelautan di Teluk Cendrawasih dari WWF Indonesia.
Bahkan menurut penuturan warga asli Kwatisore, ikan hantu ini dianggap sebagai ikan adat dan siapapun yang menangkapnya akan mendapatkan sanksi secara adat. “Jika melihat dari perbukitan, Kwatisore ini mirip dengan ekor ikan hantu. Makanya kami percaya Kwatisore memang rumah tinggal mereka. Kami dilarang mengkonsumsinya,” ungkap Yance, salah satu warga Kwatisore.
Tak hanya di Kwatisore, Papua, kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di Cirebon.
Suku Bajo juga menyebut hiu paus dengan sebutan Kareo Dede dan dianggap sebagai nenek moyang suku Bajo sehingga apabila tidak sengaja menangkap hiu paus harus segera dilepaskan.
Diungkapkan oleh Benny, kearifan lokal ini masih dijaga hingga sekarang. Bahkan jika perahu nelayan menjumpai ikan ini cenderung diam tidak bergerak atau kembali pulang. “Dari sisi konservasi, perilaku tersebut sangat positif sebab sangat menghargai kehadiran ikan ini dan semakin memperkuat sebetulnya tanpa perlu banyak edukasi, masyarakat sudah mampu hidup berdampingan,” tutup Benny.
Bahkan menurut penuturan warga asli Kwatisore, ikan hantu ini dianggap sebagai ikan adat dan siapapun yang menangkapnya akan mendapatkan sanksi secara adat. “Jika melihat dari perbukitan, Kwatisore ini mirip dengan ekor ikan hantu. Makanya kami percaya Kwatisore memang rumah tinggal mereka. Kami dilarang mengkonsumsinya,” ungkap Yance, salah satu warga Kwatisore.
Tak hanya di Kwatisore, Papua, kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di Cirebon.
Suku Bajo juga menyebut hiu paus dengan sebutan Kareo Dede dan dianggap sebagai nenek moyang suku Bajo sehingga apabila tidak sengaja menangkap hiu paus harus segera dilepaskan.
Diungkapkan oleh Benny, kearifan lokal ini masih dijaga hingga sekarang. Bahkan jika perahu nelayan menjumpai ikan ini cenderung diam tidak bergerak atau kembali pulang. “Dari sisi konservasi, perilaku tersebut sangat positif sebab sangat menghargai kehadiran ikan ini dan semakin memperkuat sebetulnya tanpa perlu banyak edukasi, masyarakat sudah mampu hidup berdampingan,” tutup Benny.
No comments:
Post a Comment