Meskipun Indonesia sudah menetapkan
Perlindungan Penuh terhadap Hiu Paus (Whale
Shark), semangat konservasi ikan terbesar di kawasan tropis ini masih perlu
diperluas hingga lintas negara. Pasalnya, sang hiu paus selalu aktif bergerak
melintasi perairan dunia.
Dewasa ini populasi Hiu Paus semakin terancam oleh aktivitas penangkapannya (dengan menggunakan harpun), atau secara tak sengaja terbawa dalam jaring ikan. Nelayan di berbagai tempat seperti India, Pakistan, Maladewa, Taiwan, dan Filipina bahkan menangkap dan memperdagangkan ikan ini untuk dagingnya, minyak liver, serta siripnya yang berharga mahal.
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah dari hewan yang memiliki panjang 12-18 meter ini, kemunculan yang semakin jarang menjadi alasan dimasukkannya ia dalam status Rentan Punah (Vulnerable) oleh IUCN, Badan Konservasi Dunia.
Upaya konservasi dan perlindungan jenis ini juga telah dilakukan beberapa negara, terutama berupa larangan untuk memburu, menangkap, dan memperdagangkan cucut besar ini. Filipina, misalnya, telah menerbitkan larangan menangkap, menjual, mengimpor atau mengekspornya sejak 1998. Larangan ini kemudian diikuti oleh India pada 2001 dan Taiwan pada 2007. Maladewa bahkan telah melindunginya semenjak 1995.
Setelah melakukan riset sejak tahun 2011 mengenai perilaku hiu paus di Indonesia dan diperkuat oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan perlindungan penuh kepada hiu paus. Dengan berarti segala kegiatan pemanfaatan dari individu hiu paus dilarang untuk dilakukan.
Hal ini dipuji dengan baik oleh Brent Stewart dari Hubb Seaworld Research Institute sebagai langkah pemerintah yang memihak pada konservasi dan memberikan kesempatan untuk riset hiu paus lebih mendalam.
“Saya rasa langkah konservasi yang ditempuh sudah sangat bagus, tapi harus diingat bahwa yang dilindungi bukan hanya tempatnya saja namun juga hewan yang ada di dalamnya. Dan karena hewan itu makhluk hidup yang bergerak, maka bentuk konservasinya pun lebih meluas,” ungkap Brent.
Ditambahkan oleh Brent, upaya melindungi hiu paus akan lebih sulit daripada hewan lain sebab hiu paus tergolong hewan yang selalu bergerak (mobile) dan perenang yang cepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Brent bersama WWF di Teluk Cendrawasih diperoleh hasil hiu paus tidak hanya bergerak di wilayah taman nasional saja tapi bergerak lintas negara hingga ke Filipina sebelum kembali ke Teluk Cendrawasih. Tak hanya di wilayah tropis menurut Brent, hiu paus juga kerap ditemui di pesisir barat Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
“Disinilah tantangan yang harus diperhatikan pemerintah untuk bisa melakukan konservasi lintas negara dan bersama-sama dunia melindungi hiu paus ini sambil berusaha mengungkap rahasia hiu paus yang belum terungkap,” tuturnya.
Dengan adanya semangat konservasiyang semakin mendunia, bisa dipastikan para penjagal dan konsumen yang sebagian besar berasal dari Taiwan dan China akan berpikir beribu kali untuk menjadikan hiu paus santapan di meja mereka.
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah dari hewan yang memiliki panjang 12-18 meter ini, kemunculan yang semakin jarang menjadi alasan dimasukkannya ia dalam status Rentan Punah (Vulnerable) oleh IUCN, Badan Konservasi Dunia.
Upaya konservasi dan perlindungan jenis ini juga telah dilakukan beberapa negara, terutama berupa larangan untuk memburu, menangkap, dan memperdagangkan cucut besar ini. Filipina, misalnya, telah menerbitkan larangan menangkap, menjual, mengimpor atau mengekspornya sejak 1998. Larangan ini kemudian diikuti oleh India pada 2001 dan Taiwan pada 2007. Maladewa bahkan telah melindunginya semenjak 1995.
Setelah melakukan riset sejak tahun 2011 mengenai perilaku hiu paus di Indonesia dan diperkuat oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan perlindungan penuh kepada hiu paus. Dengan berarti segala kegiatan pemanfaatan dari individu hiu paus dilarang untuk dilakukan.
Hal ini dipuji dengan baik oleh Brent Stewart dari Hubb Seaworld Research Institute sebagai langkah pemerintah yang memihak pada konservasi dan memberikan kesempatan untuk riset hiu paus lebih mendalam.
“Saya rasa langkah konservasi yang ditempuh sudah sangat bagus, tapi harus diingat bahwa yang dilindungi bukan hanya tempatnya saja namun juga hewan yang ada di dalamnya. Dan karena hewan itu makhluk hidup yang bergerak, maka bentuk konservasinya pun lebih meluas,” ungkap Brent.
Ditambahkan oleh Brent, upaya melindungi hiu paus akan lebih sulit daripada hewan lain sebab hiu paus tergolong hewan yang selalu bergerak (mobile) dan perenang yang cepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Brent bersama WWF di Teluk Cendrawasih diperoleh hasil hiu paus tidak hanya bergerak di wilayah taman nasional saja tapi bergerak lintas negara hingga ke Filipina sebelum kembali ke Teluk Cendrawasih. Tak hanya di wilayah tropis menurut Brent, hiu paus juga kerap ditemui di pesisir barat Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
“Disinilah tantangan yang harus diperhatikan pemerintah untuk bisa melakukan konservasi lintas negara dan bersama-sama dunia melindungi hiu paus ini sambil berusaha mengungkap rahasia hiu paus yang belum terungkap,” tuturnya.
Dengan adanya semangat konservasiyang semakin mendunia, bisa dipastikan para penjagal dan konsumen yang sebagian besar berasal dari Taiwan dan China akan berpikir beribu kali untuk menjadikan hiu paus santapan di meja mereka.
No comments:
Post a Comment