La Hanni, Pelestari Penyu Pulau Durai

Berawal dari keinginannya merantau dan mencari penghidupan yang lebih baik, menjadikan La Hanni menjelajah hingga ke Kepulauan Riau. Bahkan sudah 25 tahun dirinya menjadi “penjaga” dan pelestari penyu di Pulau Durai, Kep Anambas.
    

Beberapa saat yang lalu, Akuamina berkesempatan menjelajahi Kabupaten Anambas dengan segala keunikannya. Di Pulau Durai, tinggallah sosok Pak Tua yang lebih dikenal dengan sebutan Pak La Hanni yang sendirian disana.

     “Keluarga sebenarnya ada di Pulau Tujuh (Tarempa sekarang,red). Anak istri disana semua. Sesekali saja saya kesana,” tuturnya.

     La Hanni pun menceritakan awal mula dirinya bisa “terdampar” di Kepulauan Anambas jauh dari desa kelahirannya di Desa Biningko-Bakar Rumende Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

                 “Kami (beliau bersama saudara laki-lakinya) berangkat ke Tanjung Pinang tetapi kami berlabuh di Tiabuh karena perahu pecah. Kami kemudian mendengar Pulau Tujuh bisa memberikan kehidupan yang layak, tetapi bukan sebagai nelayan. Kami kerja pengumpul buah kelapa dan penyadap karet,” tuturnya dengan logat Melayu bercampur logat Binongko.

                 Pengalamannya dengan penyu dimulai saat ada tawaran sebagai penunggu pulau penyu di tahun 1991. Bersama istri ke duanya (saat itu) dia bekerja menggumpulkan telor penyu setiap malam.

                 Saat itu, beliau dari mengumpulkan telor penyu dan menunggu pulau, setiap bulannya La Hanni bisa mendapatkan uang dua hingga tiga juta. Kesemuanya itu adalah hasil dari pembagiaan yang didapat dari pemilik lapak di pulau durai. Jika musim bertelur tiba La Hanni bisa mendapat lebih dari dua juta, karena bisa tiga puluh ekor penyu yang bertelur dalam semalam.

                 “Satu ekor penyu bisa mengeluarkan telur hingga seratus butir. Satu butir telur dihargai dua ratus lima puluh rupiah oleh Raja Asnan, dan di Tarempa di jual dengan harga seribu lima ratus rupiah per butir,” jelas La Hanni.

                 Kini sejak Pemerintah Kabupaten Anambas bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menetapkan Pulau Durai menjadi Wilayah Konservasi Penyu, otomatis pengambilan telur penyu seluruhnya dilakukan untuk keperluan konservasi.

                 Puluhan tukik juga ditetaskan sendiri oleh Pak La Hanni sambil menunggu sarana penetasan penyu yang dijanjikan oleh KKP rampung. La Hanni sengaja memeliharanya, selain karena kebijakan Pemkab Anambas tetapi juga karena kesadarannya untuk menyelamatkan hidup penyu yang semakin sedikit jumlahnya.“Saya pelihara tukik-tukik itu sampai berusia satu tahun, supaya tidak dimakan pemangsa untuk kemudian dilepaskan lagi ke habitatnya,” tuturnya sambil tersenyum.

                 Suka duka pastinya dialami oleh kakek berusia 90 tahun ini. Di satu waktu, Pulau Durai pernah kedatangan puluhan kapal penangkap ikan dari Thailand. Tetapi kini karena sering adanya patroli dari Marinir, kapal penangkap ikan Thailand sudah tidak pernah lagi kelihatan.

                 “Kapal-kapal mereka itu menggunakan pukat-pukat besar, yang tidak hanya menangkap ikan besar tetapi ikan kecil juga dan merusak terumbu karang tempat ikan bertelur. Beruntunglah sekarang sudah sering ada Patroli Marinir, jadi kami orang-orang pulau bisa mendapatkan banyak tangkapan,” tutupnya.

            Untuk urusan perut, La Hanni biasa mendapatkan ikan dari nelayan yang mampir atau seminggu sekali mengayuh sampan selama tiga jam, membeli kebutuhan pokok di kota Tarempa. hingga di usia senjanya La Hanni tetap menjalankan aktivitas itu